RANCANGAN INTERVENSI PEMULIHAN TRAUMA BAGI
PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN SEKSUAL
DALAM HUBUNGAN PACARAN
Angesty Putri A.
E. Kristi Poerwandari
Nathanael Sumampouw
Penelitian ini disusun dengan tujuan memahami dinamika
dampak psikologis, khususnya trauma, pada perempuan yang pernah mengalami
kekerasan seksual dalam hubungan pacaran untuk kemudian dibuatkan rancangan
intervensi yang dapat diaplikasikan pada klien dengan kasus serupa. Partisipan
berjumlah dua perempuan berusia 24 dan 25 tahun.
Pendekatan penelitian adalah kualitatif tipe studi
kasus intrinsik. Asesmen dilakukan dengan teknik wawancara mendalam sebanyak
lima pertemuan dan observasi sebagai teknik pendukung, Analisis dilakukan
secara interkasus.
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat
empat tema utama yang muncul dari partisipan sebagai dampak psikologis dari
kekerasan seksual dalam hubungan pacaran, yaitu masih dirasakannya
simtom-simtom PTSD, konsep diri negatif, permasalahan dalam relasi
interpersonal berikutnya, dan traumatisasi seksual. Atas alasan urgensi, maka
untuk rancangan intervensi dipilih dua dari empat area tersebut, yaitu
simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual.
Rancangan intervensi berbentuk modul dan menggunakan
pendekatan behavioral kognitif untuk pemulihan trauma. Teknik-teknik behavioral
diberikan untuk area simtom-simtom PTSD, sedangkan teknik-teknik kognitif
diberikan untuk area traumatisasi seksual.
Kata
kunci :
Kekerasan seksual, dampak
psikologis, simtom-simtom PTSD, konsep diri, relasi interpersonal, traumatisasi
seksual, pendekatan behavioral kognitif
PENDAHULUAN
Di Indonesia, kasus kekerasan
terhadap perempuan semakin marak terjadi. Kekerasan terhadap perempuan dapat
terjadi dalam beberapa bentuk, di antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikologis,
deprivasi ekonomi, diskriminasi, serangan seksual, kekerasan seksual,
intimidasi berbasis gender, dan perdagangan perempuan (Komnas Perempuan, 2002; Poerwandari,
2008). Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam beberapa dekade
terakhir mulai menjadi perhatian peneliti (Rollins, 1996). Hal ini karena
kekerasan seksual dirasakan memiliki dampak psikologis yang besar terhadap
korban (Copeland & Harris, 2000).
Kekerasan seksual
adalah perilaku seksual yang dipaksakan kepada korban yang secara emosional,
kematangan, dan kognitif lebih rendah dibandingkan pelaku, sehingga hubungan
yang terjadi dilandasi oleh posisi dominan dan kekuasaan dari pelaku (Wickham
& West, 2002). Kekerasan seksual memiliki efek jangka pendek dan
jangka panjang terhadap fungsi psikologis korban. Sebagian besar hasil
penelitian menunjukkan bahwa dampak psikologis pasti dialami korban. Beberapa
di antara hasil penelitian menyatakan bahwa dua per tiga dari korban kekerasan
seksual akan mengalami simtom-simtom psikologis, dan seperempat di antaranya
mengalami kesulitan yang lebih parah (Berliner & Elliott, 1996;
Kendall-Tacket et al, 1993; Wolfe & Birt, 1995 dalam Wickham & West,
2002).
Sebagian masyarakat berpendapat
bahwa kekerasan seksual lebih banyak terjadi oleh pelaku yang tidak dikenal
atau orang asing. Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus kekerasan
seksual lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban, bahkan
memiliki relasi personal (Komnas Perempuan, 2002). Salah satu relasi personal
yang bisa memunculkan kekerasan seksual adalah hubungan pacaran (Llyod, 1991
dalam Rollins, 1996). Banyak orang peduli tentang
kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, namun masih sedikit yang peduli
pada kekerasan dalam pacaran (Zulfah,
2007). Pada hubungan pacaran, umumnya kekerasan
seksual diwarnai oleh kekerasan fsik dan psikologis (Komnas Perempuan, 2002).
Hal tersebut karena untuk bisa melakukan hubungan seksual, pelaku juga
menggunakan ancaman baik secara fisik maupun emosional.
Terdapat perbedaan konteks antara Indonesia
dengan di luar negeri. Pada budaya Timur
yang masih menganggap seks sebagai hal yang tabu untuk diperbincangkan, kasus
kekerasan cenderung menjadi isu yang lebih sensitif dan privat (Poerwandari,
2008). Terlebih lagi jika pelakunya dekat dengan korban dan memiliki reputasi
yang baik di lingkungannya, maka korban umumnya akan memilih untuk tidak
mengekspos kekerasan yang dialaminya (Komnas Perempuan, 2002). Oleh karena itu,
banyak hasil penelitian yang mendukung bahwa perempuan rentan terhadap tindak
kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang dekat (Koss dan Harvey, 1991).
Reaksi psikologis
yang muncul segera setelah individu mengalami kekerasan seksual di antaranya
adalah shock, tidak percaya,
menyangkal, merasa ketakutan, bingung, cemas, dan menarik diri (Balise dalam
Kendall-Tackett, 2005). Dampak psikologis lainnya adalah perempuan korban
kekerasan seringkali merasakan harga dirinya rendah atau menurun, merasa
bersalah, malu, mengalami gangguan tidur, simtom-simtom gangguan stres pasca trauma,
dan permasalahan seksual (Resick, 1987 dalam Kendall-Tackett, 2005). Kekerasan
seksual sangat berdampak terhadap bagaimana korban memandang dunianya (Koss
& Harvey, 1991). Umumnya, korban
akan mengalami perubahan beliefs
mengenai keamanan, power, kepercayaan,
dan intimacy (Kendall-Tackett, 2005;
Allen, 2005). Perilaku beresiko juga umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping terhadap efek viktimisasi yang
tidak tertahankan (Ballon, Courbasson, & Smith, 2001 dalam Kendall-Tackett,
2005).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa
trauma merupakan salah satu dampak psikologis yang cukup serius dialami korban,
tidak hanya dalam jangka waktu pendek tetapi juga bisa berlangsung dalam waktu
yang lama dan tidak bisa diprediksi. Penanganan trauma pada korban kekerasan
seksual bisa dilakukan dengan beberapa cara. Sebagian perempuan yang mengalami
trauma akibat kekerasan seksual mengembangkan strategi coping yang bisa mengurangi atau meredam perasaan-perasaan negatif
(Rollins, 1996). Pendekatan behavioral juga efektif diapllikasikan pada klien
dengan simtom-simtom traumatis (Rollins, 1996). Secara lebih spesifik,
pendekatan yang digunakan untuk menangani klien dengan trauma akibat kekerasan
seksual adalah cognitive processing
therapy (Resick & Schnicke, 1993).
Permasalahan umum dalam penelitian ini adalah, ”Bagaimana pendekatan behavioral
kognitif dapat diaplikasikan pada rancangan intervensi untuk perempuan yang
mengalami trauma akibat kekerasan seksual dalam hubungan pacaran?”
Untuk dapat menjawab pertanyaan
utama, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan implikasi dari
kekerasan seksual yang dialami partisipan, yaitu:
1.
Seperti apa konteks
lingkungan di mana partisipan dibesarkan?
2.
Perasaan apa yang
muncul saat partisipan mengalami kekerasan seksual?
3.
Dampak psikologis apa
saja yang dialami partisipan?
4.
Bagaimana trauma yang
dirasakan partisipan?
5.
Bagaimana pandangan
partisipan mengenai seks?
6.
Bagaimana pandangan
partisipan mengenai dirinya sendiri, khususnya dalam seksualitas?
TINJAUAN TEORITIS
Seksualitas Perempuan
Purnawan (2004) menjelaskan bahwa
dimensi yang membentuk seksualitas adalah dimensi sosiokultural, dimensi agama
dan etis, dimensi biologis, dan dimensi psikologis. Sistem nilai seksual merupakan keyakinan pribadi dan keinginan yang
berkaitan dengan seksualitas (Purnawan, 2004). Pengalaman yang berkaitan dengan
seks dapat membuat individu lebih mudah untuk berhadapan dengan masalah seksual
dalam lingkungan atau sebaliknya dapat pula menghambat individu dalam
mengekspresikannya. Perempuan membentuk sistem nilai seksual berdasarkan
norma-norma yang ditanamkan kepadanya dari lingkungan.
Daniluk (1993 dalam Rollins, 1996)
menunjukkan hasil penelitiannya yaitu bahwa para perempuan yang pengalaman
seksnya positif memaknai seks dalam tiga kategori, yaitu sebagai ekspresi
seksual dalam relasi personal, perwujudan dari mutualisme, dan kesenangan
emosional bersama pasangan. Sementara itu, kekerasan seksual (termasuk di
dalamnya inses, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan verbal dan fisik)
yang pernah dialami perempuan menyebabkannya mengembangkan pemaknaan yang
negatif terhadap seks.
Kekerasan Seksual
dalam Hubungan Pacaran
Kekerasan seksual bisa muncul dalam
bentuk rabaan, ciuman, sentuhan yang tidak dikehendaki, pelecehan seksual,
pemaksaan untuk melakukan hubungan seks dengan berbagai alasan tanpa
persetujuan, atau mengancam dan menganiaya pasangan agar mau melakukan hubungan
seks (Komnas Perempuan, 2002). Hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan
di masa pacaran membawa dampak psikologis. Kekerasan seksual merupakan bentuk
kekerasan yang sering berdampak sangat traumatik, dan mengubah keseluruhan
hidup individu. Sebagian pihak menggolongkan semua bentuk ketidakadilan
seksual dan manipulasi seksual dalam istilah ‘kekerasan seksual’. Kekerasan
seksual merupakan penyalahgunaan kekuasaan, menyerang yang lemah dan tidak
berdaya untuk melakukan perlawanan baik secara fisik maupun emosional (Wickham
& West, 2002).
Dampak Psikologis Kekerasan Seksual
Reaksi psikologis yang muncul segera setelah individu
mengalami kekerasan seksual di antaranya adalah shock, tidak percaya, menyangkal, merasa ketakutan, bingung, cemas,
dan menarik diri (Balise dalam Kendall-Tackett, 2005). Mengikuti reaksi
inisial, perempuan seringkali merasakan harga dirinya rendah atau menurun,
merasa bersalah, malu, mengalami gangguan tidur, simtom-simtom gangguan stres
pasca trauma, dan permasalahan seksual (Chibnall, Wolf, & Duckro, 1998;
Kendal-Tackett, 2005). Kekerasan seksual dangat berdampak terhadap bagaimana
korban memandang dunianya. Umumnya, korban mengalami perubahan beliefs mengenai keamanan, power, kepercayaan, dan intimacy (Kendall-Tackett, 2005).
Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma kerap
memunculkan perilaku beresiko pasca kekerasan seksual sebagai efek emosional
atau rentannya psikis korban (Dallam dalam Kendall-Tackett, 2005). Hasil
penelitian Lipschitz, Grilo, Fehon, McGlashan, dan Southwick (2000, dalam
Kendall-Tackett, 2005) menunjukkan bahwa gangguan stres pasca trauma
berkorelasi signifikan dengan penggunaan obat dan alkohol. Perilaku beresiko
umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping
terhadap efek viktimisasi yang tidak tertahankan (Ballon, Courbasson, &
Smith, 2001 dalam Kendall-Tackett, 2005; Flynn, 1990).
Browne
dan Finkelhor (1986 dalam Wickham dan West, 2002) mengidentifikasi
masalah-masalah jangka panjang yang munculnya disebabkan oleh kekerasan seksual,
yaitu traumatic sexualization,
stigmatisasi, sulit mempercayai orang lain, dan ketidakberdayaan. Pengalaman kekerasan juga bisa saja diinternalisasi oleh
korban sebagai model dalam menjalani hubungan. Individu yang merasa disakiti
akan melihat seks sebagai sesuatu yang menyakitkan sehingga minatnya berkurang
terhadap seks, atau sebaliknya mengalami kebingungan akan makna seks (Browne
& Finkelhor, 1996 dalam Wickham & West, 2002). Individu mungkin juga
kelak akan menjadi penyerang ketika melihat adanya peluang untuk menunjukkan power kepada orang yang lebih lemah
(Edgeworth & Carr, 2000: 19-20 dalam Wickham & West, 2002).
Trauma
Wanita yang mengalami kekerasan seksual rentan terhadap gangguan stres
pasca trauma dan psikopatologi (Rollins, 1996). Simtom-simtom stres pasca
trauma meliputi mengalami kembali peristiwa, mimpi buruk, flashbacks, menghindari pengingat dan pemikiran tentang peristiwa,
mengurangi interaksi dengan teman-teman, perasaan ingin menyendiri, emosi yang
tertahan, gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, perasaan
bersalah, dan sangat merasa ketakutan (Foa, Rothbaum, Riggs, & Murdock, 1991,
dalam Rollins, 1996).
Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma dapat dibedakan ke dalam tiga
golongan (Smith, Dygerov, & Yule, 2008), yaitu:
1. Intrusive
memories à munculnya bayangan-bayangan yang
tidak diinginkan yang berhubungan dengan peristiwa traumatis, terkadang sangat
jelas sehingga membuat individu ketakutan dan tidak berdaya.
2. Arousal à reaksi fisiologis yang muncul bila teringat pada kejadian
traumatis, membuat individu terjaga dan kesulitan untuk melakukan aktivitas
sehari-hari.
3. Avoidance à perilaku atau pemikiran individu untuk menghindari hal-hal
yang mengingatkan pada kejadian traumatis.
Penanganan Trauma Akibat Kekerasan Seksual
Sebagian perempuan
yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual mengembangkan coping strategies yang diyakininya bisa
mengurangi atau meredam perasaan-perasaan negatif (Rollins, 1996). Konseling
dan pendampingan psikologis penting bagi para korban kekerasan seksual yang
mengalami trauma, tetapi perlu juga psikoterapi. Psikoterapi bisa diberikan
dengan pendekatan cognitive reappraisals
yang tujuan utamanya adalah meredefinisikan pemerkosaan sebagai kejadian yang
bukan salah mereka, dan membantu korban untuk berpikir positif (Rollins, 1996).
Terapi, khususnya terapi behavioral kognitif (CBT) atau terapi proses kognitif yang
dikembangkan untuk mengurangi simtom-simtom stres pascatrauma pada korban
pemerkosaan juga bisa menjadi efektif dengan formula yang tepat bagi korban
(Foa et al., 1991; Resick & Schnike, 1992 dalam Rollins, 1996).
Secara lebih spesifik, pendekatan yang digunakan untuk
menangani klien dengan trauma akibat kekerasan seksual adalah cognitive processing therapy (CPT) (Resick
& Schnicke, 1993). Pada dasarnya, pendekatan kognitif behavioral juga
dikembangkan berdasarkan CPT. Teknik utama yang digunakan dalam CPT adalah
restrukturisasi pikiran, yang sasarannya adalah keyakinan atau pemikiran klien
yang salah mengenai dirinya sendiri. Oleh karena itu, CPT efektif diaplikasikan
pada klien yang memiliki kapasitas kognitif yang baik.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan dua
partisipan yang diberi nama samaran Dian (24 tahun) dan Tia (25 tahun). Dian
dan Tia pernah mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran yang
dijalaninya beberapa tahun yang lalu dan masih merasakan simtom-simtom
traumatis berkaitan dengan peristiwa tersebut hingga saat ini. Dian mengalami
kekerasan seksual disertai kekerasan fisik yang cukup intens, sedangkan Tia
mengalami kekerasan seksual disertai kekerasan emosional berupa makian, cacian,
dan umpatan dari pacarnya. Pengalaman tersebut membuat mereka kesulitan dalam
menjalani hubungan interpersonal selanjutnya.
Penelitian menggunakan pendekatan
kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus intrinsik (Poerwandari, 2005). Prosedur
penelitian meliputi tahap persiapan, pelaksanaan, analisis data, dan penyusunan
rancangan intervensi. Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara mendalam
yang dilakukan sebanyak lima kali untuk masing-masing partisipan. Analisis
dilakukan secara interkasus dan hasilnya akan digunakan untuk menentukan sasaran
intervensi.
HASIL
PENELITIAN
Identitas
Partisipan
DIAN
|
TIA
|
24 tahun,
wiraswasta, S1
|
25 tahun, baru
lulus S2
|
Agama Islam,
suku Sunda
|
Agama Islam,
suku Jawa
|
Anak pertama
dari dua (P, P)
|
Anak pertama
dari tiga (P, P, P)
|
Pelaku: pacar
pertama
|
Pelaku: pacar
ketiga
|
Peristiwa
tahun 2003
|
Peristiwa
tahun 2005
|
Lama hubungan
3 tahun
|
Lama hubungan
2,5 tahun
|
Kekerasan:
seksual-fisik
|
Kekerasan:
seksual-emosional
|
Saat ini
bertunangan
|
Saat ini
berpacaran
|
Gambaran Kasus
Partisipan
Dian mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya, Dani,
ketika usianya 20 tahun. Dian berpacaran dengan Dani sejak SMA kelas 2 yaitu
tahun 2002, tetapi setelah lulus SMA di tahun 2003 mereka melanjutkan
pendidikan ke kota yang berbeda. Sejak itu, kondisi hubungan mereka dirasakan
berubah oleh Dian, di mana Dani mulai memintanya untuk berhubungan seksual.
Jika Dian tidak mau, maka Dani akan memaksa dengan cara memukul, menendang,
bahkan menyeret Dian ke tempat tidur dan melakukan penetrasi dengan kasar. Setiap
selesai melakukan hubungan seksual, Dani selalu bekata-kata manis dan meminta
maaf, lalu kemudian Dian luluh dan kembali terjebak dalam hubungan seksual
tersebut.
Tia mengalami kekerasan seksual ketika berpacaran
dengan Toni. Tia menceritakan bahwa hubungannya dengan Toni awalnya baik-baik
saja, dan jarang bertengkar. Menginjak tahun kedua berpacaran, Tia merasakan
kejanggalan ketika Toni mulai berani menyentuh bagian-bagian pribadi dari
tubuhnya. Tia menolak ketika Toni memintanya berhubungan seks. Toni tidak menyakitinya
secara fisik, namun Toni memaki-maki Tia jika tidak mau memenuhi permintaannya.
Toni meminta maaf berulang-ulang dan mengatakan menyesal. Lama kelamaan Tia
risih karena Toni semakin sering memaksanya melakukan hubungan seksual. Tia
akhirnya tidak kuasa menolak karena lelah dicaci maki oleh Toni yang sering
mengucapkan kata-kata kotor dan binatang. Menurut
Tia , ia selalu merasa
terpaksa ketika akhirnya mau melakukan hubungan seksual dengan Toni.
Analisis Kasus
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh beberapa poin
perbandingan antara kasus Dian dengan Tia, yang diuraikan dalam tabel berikut.
Perbandingan Kasus Dian dengan Tia
Aspek-aspek
|
DIAN
|
TIA
|
Konteks Lingkungan dan Pembentukan
Seksualitas
|
Pola asuh ketat dan religius
Orangtua tertutup dan menjadi sosok yang
ditakuti
Dilarang berteman dengan laki-laki atau
pacaran
Konsep keperawanan sangat penting
Perempuan harus menjaga diri baik-baik
|
Pola asuh demokratis
Orangtua terbuka dan memberikan akses
komunikasi
Hubungan dengan lawan jenis
diperbolehkan
Konsep keperawanan penting
Perempuan harus menjaga diri baik-baik
|
Reaksi Psikologis Pasca Kekerasan
Seksual
|
Shock dan tidak menyangka akan mengalami
kekerasan dari orang yang dicintai
Nyeri di kemaluan, gangguan tidur dan
makan
Sedih, kecewa, marah
Perasaan jijik
Hilang mood dan energi rendah
Terbayang peristiwa dan tidak mampu
mengendalikan ingatan yang muncul
Mimpi buruk
Menghindar dari pelaku
|
Shock dan tidak menyangka akan mengalami
kekerasan dari orang yang dicintai
Nyeri di kemaluan
Marah, sedih, kecewa
Perasaan benci
Emosi meledak-ledak
Terbayang peristiwa dan tidak mampu
mengendalikan ingatan yang muncul
Mimpi buruk
Menghindar dari pelaku
|
Dampak Psikologis Jangka Panjang
|
Sulit melupakan kejadian meskipun sudah
berusaha
Harga diri rendah
Self
blame
Merasa bodoh, hina, berdosa
Memandang buruk terhadap laki-laki dan
bingung mengenai seks
|
Sulit melupakan kejadian meskipun sudah
berusaha
Harga diri rendah
Self
blame
Merasa berdosa
Memandang buruk terhadap sosok laki-laki
tetapi membutuhkan afeksi
|
Reaksi Trauma
|
Kekacauan seksual
dalam bentuk berganti-ganti pasangan
seks tanpa mau berkomitmen
|
Kekacauan seksual
dalam bentuk inaktivasi seks dan
menjalani komitmen dengan sesantai mungkin
|
Pandangan mengenai Diri, Seks, dan
Seksualitas
|
Memandang diri sendiri secara negatif
Seks menjadi bebas dilakukan asalkan
suka sama suka dan tidak perlu dipikirkan dampaknya karena sudah tidak
perawan
|
Memandang diri sendiri secara negatif
Seks tidak perlu dilakukan karena
menyakitkan
|
Dinamika Trauma Akibat Kekerasan
Seksual pada Partisipan
Peneliti menyimpulkan bahwa meskipun aspek-aspek yang
terlibat dalam peristiwa traumatis masing-masing partisipan berbeda, dampak
psikologis yang tampil dapat ditelaah melalui tinjauan teoritis yang sama.
Dinamika trauma yang dialami partisipan digambarkan melalui tabel berikut.
Tabel menggunakan garis putus-putus untuk menggambarkan adanya saling
keterkaitan antara aspek satu dengan yang lain.
Dinamika Trauma
ASPEK-ASPEK
YANG TERLIBAT DALAM PERISTIWA TRAUMATIS
(sebelum
dan saat kejadian)
|
||||
Perilaku
Kekerasan
|
Figur
Pelaku
|
Pandangan
terhadap Diri
sebagai
Perempuan
|
||
Menarik dengan
kasar
|
Orang terdekat
pada saat itu
|
Harus menjaga
diri
|
||
Mendorong
|
Kekasih
|
Harus menjaga
keperawanan
|
||
Memukul tubuh
|
Sahabat
|
Harus menahan
hasrat seks
|
||
Menampar wajah
|
Kakak/orang
yang lebih tua
|
Harus bersikap
lembut
|
||
Menyeret
|
Dicintai
|
Lemah secara
fisik
|
||
Mengumpat
|
Kuat
|
Disalahkan
|
||
Mengata-ngatai
|
Melindungi
|
Dicap buruk
oleh masyarakat
|
||
Memarahi
|
Patut
dihormati
|
Mudah merasa
malu
|
||
Memaksakan
penetrasi
|
Bertanggung
jawab
|
Menanggung
perbuatannya sendiri
|
||
Memaksakan
orgasme
|
Diharapkan
menjadi suami
|
Tidak boleh
melawan laki-laki/suami
|
||
m
e n i
m b u
l k a
n
(setelah
kejadian)
|
||||
Memori buruk
|
Hilang
kepercayaan
|
Sense of self yang buruk
|
||
Menangis
|
Hilang rasa
aman
|
Self esteem yang rendah
|
||
Perasaan
marah, benci, sedih
|
Ambivalensi
dalam hubungan
|
Menyalahkan
diri sendiri
|
||
Lemas, jantung
berdebar, mual
|
Takut
dimanfaatkan
|
Tidak
memaafkan diri sendiri
|
||
Menghindar
|
Takut
berkomitmen
|
Tidak bisa
menerima kejadian
|
||
s
e b a
g a i
|
||||
Simtom-simtom
stres pasca trauma
|
Konflik
dalam relasi interpersonal
|
Konsep
diri yang negatif
|
||
DAMPAK SEGERA
|
DAMPAK JANGKA MENENGAH DAN PANJANG,
yang apabila perilaku bertahan akan
menjadi
|
|||
Traumatisasi
seksual
|
||||
Sasaran Intervensi
Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa kedua
partisipan mengalami trauma yang cukup dalam akibat kekerasan seksual sehingga
dalam kesehariannya menghadapi kesulitan dalam empat area. Keempat area ini
yang akan menjadi sasaran dalam intervensi, yaitu:
1. Simtom-simtom PTSD
Simtom-simtom PTSD muncul dalam
bentuk memori, bayangan, atau mimpi akan kejadian traumatis yang sering
terbangkitkan, reaksi fisiologis dan emosional negatif yang muncul bila
teringat pada kejadian traumatis, serta perilaku dan pikiran menghindar dari
hal-hal yang mengingatkan pada kejadian traumatis.
2. Konsep diri sebagai perempuan
Mencakup pandangan yang negatif
terhadap diri sendiri, kurangnya rasa keberhargaan diri, adanya anggapan bahwa
dirinya tidak utuh dan tidak lagi sempurna sebagai seorang perempuan karena
gagal mempertahankan keperawanan, adanya perilaku menyalahkan diri sendiri,
serta sulitnya menerima kejadian tersebut dan memaafkan diri sendiri.
3. Relasi interpersonal
Kedua partisipan menunjukkan ketakutan
dan kecemasan akan hubungan intim yang selanjutnya karena memiliki pandangan
yang negatif terhadap seks dan laki-laki. Area ini menjadi penting karena saat
ini, mereka berada dalam hubungan intim yang baru setelah periode kekerasan
seksual, sehingga timbul konflik antara kebutuhan intimacy dan ketakutan akan pengalaman masa lalu yang negatif.
4. Traumatisasi seksual
Traumatisasi seksual muncul dalam
bentuk perilaku seks atipikal dan tidak disadari oleh partisipan sebagai
sesuatu hal yang tidak biasa. Perilaku seks atipikal dapat berupa minat yang
rendah atau tinggi terhadap seks, di mana salah satu partisipan menunjukkan
berkurangnya minat terhadap seks, sedangkan partisipan yang lain sebaliknya.
Reaksi psikologis segera ini kemudian diikuti dengan
perasaan malu, rendah diri, dan menyalahkan diri sendiri yang akhirnya
menyebabkan partisipan memandang buruk terhadap dirinya sendiri. Pandangan yang
negatif ini kemudian menurunkan minat mereka terhadap relasi interpersonal
sebagai konsekuensi yang sifatnya lebih luas dibandingkan personal. Kalaupun
menjalani, mereka dibayangi ketakutan-ketakutan mengenai seks dan penerimaan
pasangan. Kebingungan yang dialami akhirnya menjadikan para partisipan
mengalami dampak yang diistilahkan dengan traumatisasi seksual, di mana mereka
mengembangkan perilaku seks yang atipikal.
Rancangan Intervensi
Mengingat kasus kekerasan seksual termasuk ke dalam isu
yang cenderung bersifat sensitif dan kebanyakan korban tidak ingin
membicarakannya secara terbuka, maka peneliti memilih individual treatment sebagai model utama penanganan. Seperti yang
dikemukakan Rollins (1996), pendekatan behavioral kognitif efektif digunakan
dalam menangani simtom-simtom PTSD. Secara lebih spesifik, cognitive processing therapy efektif untuk merestrukturisasi
pikiran para korban mengenai kejadian yang dialaminya (Resick & Schnicke,
1993). Pada dasarnya, teknik ini dapat berhasil apabila didukung dengan
kapasitas kognitif yang baik dari klien. Berdasarkan pertimbangan bahwa kedua
partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan dan kapasitas
kognitif yang memadai, maka peneliti memilih untuk menyusun rancangan
intervensi dengan pendekatan gabungan dari cognitive
processing therapy (Resick & Schnike, 1993) dan pendekatan behavioral
kognitif untuk mengatasi reaksi stres pasca trauma (Smith, Dygerov, & Yule,
2008).
Desain Rancangan Intervensi
AREA
INTERVENSI
|
ASPEK
SASARAN
|
INDIKATOR
PRE-INTERVENSI
|
TEKNIK
|
INDIKATOR
POST-INTERVENSI
|
|
Memori
yang mengganggu
|
Bermimpi
buruk setidaknya sekali dalam satu bulan
Terlintas
bayangan kejadian setidaknya sekali dalam beberapa hari
Tidak
mampu mengenyahkan mimpi dan bayangan meskipun sudah berusaha secara maksimal
|
Self-inventory:
CRIES-13
Psikoedukasi:
Mengapa
memori yang mengganggu muncul
Teknik Imagery Screen
|
Berkurangnya
memori yang mengganggu
Penerapan
upaya yang efektif untuk mengenyahkan mimpi dan bayangan akan peristiwa
traumatis
|
|
Reaksi
fisiologis negatif
|
Gangguan
tidur
Gangguan
makan
Jantung
berdebar-debar
Merasa
lemas
Merasa
mual
|
Psikoedukasi:
Mengapa
reaksi fisiologis negatif muncul
Teknik
Relaksasi Progresif
Teknik
Bernafas
|
Berkurangnya
reaksi fisiologis negatif
Penerapan upaya yang efektif untuk meredakan reaksi fisiologis negatif |
|
Reaksi
emosional negatif
|
Menangis
Merasa
marah
Merasa
benci
Merasa
sedih
Merasa
jijik
|
Psikoedukasi:
Mengapa
reaksi emosional negatif muncul
Konseling:
Pengenalan
Emosi Diri
Teknik
distancing sebagai emotion-focused coping style
|
Berkurangnya
reaksi emosional yang berlebihan
Pengenalan
pola emosi diri dan menerapkan upaya yang efektif untuk meredakan emosi
negatif
|
|
Pikiran
dan perilaku menghindar
|
Tidak
mau melewati tempat-tempat tertentu meskipun menimbulkan kerugian atau
merepotkan
Tidak
mau menemui orang-orang tertentu meskipun menimbulkan kerugian atau
merepotkan
|
Psikoedukasi:
Mengapa
pikiran dan perilaku menghindar muncul
Desensitisasi
sistematis
Eksposur
in vivo
|
Bersedia
dan mampu melewati tempat yang ditakuti/menemui orang yang semula dihindari
Menghadapi
rasa takut dalam tingkatan yang lebih tinggi dari sebelum intervensi
Mampu
me-recall ingatan tentang peristiwa
traumatis tanpa tenggelam dalam perasaan negatif
|
|
|
Anggapan
bahwa dirinya bersalah
Perasaan
rendah karena sudah tidak suci
Ketidakmampuan
menjalani hubungan intim Perasaan kotor bahwa tidak ada lagi yang perlu
dipertahankan dari dirinya
Kebingungan
mengenai seks dan hubungan intim
|
Psikoedukasi:
Dampak
kekerasan seksual, khususnya berkaitan dengan traumatisasi seksual
Counter Statements
Restrukturisasi
Pikiran
|
Pemahaman
mengenai kondisi diri meningkat
Berkurangnya
perasaan bersalah
|
|
Perilaku
seks atipikal
|
Pemahaman
yang tidak tepat mengenai hubungan seks
Anggapan
bahwa perilaku seks atipikal merupakan hal yang wajar terjadi
Perubahan
derajat minat terhadap seks (menjadi rendah atau menjadi berlebihan)
|
Teknik
Konfrontasi
Restrukturisasi
Pikiran
Teknik
distancing sebagai salah satu emotion-focused coping style (contoh)
Psikoedukasi:
Seksualitas,
proses biologis dan reproduksi, dampak seks bebas dan HIV-AIDS
|
Berkurangnya
perilaku seks atipikal
Pemahaman
mengenai seksualitas meningkat
|
|
Penerimaan
diri
|
Pemahaman
yang tidak tepat mengenai hubungan pacaran
Ketidakmampuan
menerima masa lalu
Tidak
memaafkan diri sendiri
|
Psikoedukasi:
Pacaran Sehat
Self-disclosure:
Bukti keberhasilan dan prestasi
Konseling:
Identifikasi stuck points
Makna hidup
|
Penerimaan
terhadap diri meningkat
Kemampuan
untuk memaafkan diri
|
Berdasarkan desain di atas, maka area pertama yang
menjadi sasaran intervensi adalah simtom-simtom
PTSD, yang akan dipecah menjadi empat aspek, yaitu memori yang mengganggu, reaksi
fisiologis negatif, reaksi emosional
negatif, serta pikiran dan perilaku
menghindar dari hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatis.
Sedangkan area kedua sasaran intervensi adalah traumatisasi seksual, yang terdiri dari aspek-aspek self
blame, perilaku seks atipikal,
dan penerimaan diri. Peneliti
menetapkan bahwa intervensi dapat dilakukan oleh psikolog atau terapis yang memahami isu kekerasan seksual, dan
berlangsung sebanyak sembilan sesi,
yang terdiri dari delapan sesi
individual dan satu sesi dengan significant others apabila memungkinkan dan klien bersedia
untuk mendatangkan salah satu orang terdekatnya yang ia percayai. Peneliti
menyarankan bahwa sesi untuk significant
others dilaksanakan di awal atau setidaknya di tengah-tengah seluruh sesi
individual, dengan pertimbangan agar significant
others dapat turut memantau kemajuan sesi dan memberikan dukungan kepada
klien selama mengikuti sesi. Berdasarkan literatur, peneliti juga menetapkan
bahwa sesi intervensi ini akan dilakukan setiap satu minggu sekali. Dengan
demikian, para praktisi dapat memberikan intervensi ini kepada klien dalam
waktu dua bulan secara keseluruhan.
Sementara itu, berdasarkan pertimbangan tercapainya target sesi, maka sesi akan
dilaksanakan dalam waktu kurang lebih dua
jam untuk satu pertemuan. Setiap sesi diberi nama sesuai dengan tema yang
menjadi pembahasan utama dalam sesi yang bersangkutan.
Rangkuman Sesi
Sesi 1
|
Aku dan Peristiwa yang Menyebabkan Trauma
|
+ 120 menit
|
Sesi 2
|
Aku dan Reaksi-reaksi Negatif
|
+ 120 menit
|
Sesi 3
|
Aku dan Memori yang Mengganggu
|
+ 120 menit
|
Sesi 4
|
Aku dan Usaha untuk Menghindar
|
+ 120 menit
|
Sesi 5
|
Aku Tidak Bersalah…
|
+ 120 menit
|
Sesi 6
|
Aku dan Seksualitas
|
+ 120 menit
|
Sesi 7
|
Of course I love myself!
|
+ 120 menit
|
Sesi 8
|
Review dan Terminasi
|
+ 120 menit
|
Sesi
Alternatif
|
Optimalisasi Pendampingan Psikologis
|
+ 120 menit
|
9 SESI
|
TOTAL
|
+ 18 jam
|
Sesi 1 mencakup perkenalan dan pembahasan mengenai
reaksi stres pasca trauma dan pengalaman kekerasan seksual, sesi 2 membahas
tentang reaksi-reaksi emosional dan fisiologis yang muncul jika teringat pada
peristiwa serta teknik untuk meredamnya, sesi 3 membahas tentang memori atau
bayangan yang masih mengganggu, dan sesi 4 membahas tentang avoidance. Keempat sesi pertama
merupakan bagian dari area simtom-simtom PTSD, sehingga diberikan lebih awal
dengan harapan apabila klien sudah mampu menerapkan upaya-upaya efektif untuk
meredam reaksi stres pasca trauma-nya, maka ia menjadi lebih siap untuk
mengikuti sesi traumatisasi seksual. Keempat sesi berikutnya bisa dikatakan
lebih menenangkan untuk dijalani klien karena proses yang panjang di awal sesi
ditujukan untuk kesejahteraan psikologis klien dan tidak secara langsung
mengarahkan pembahasan pada isu yang mungkin masih terasa menakutkan bagi
mereka. Atas alasan yang sama, maka secara lebih rinci, sesi mengenai reaksi
fisiologis dan emosional negatif sengaja diberikan pertama kali dengan tujuan
membekali klien dengan persiapan fisiologis dan emosional.
DISKUSI
Terdapat perbedaan karakteristik kepribadian di antara
Dian dan Tia yang menyebabkan mereka memiliki cara padang yang berbeda terhadap
peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya. Dian yang
dibesarkan dengan pola asuh ketat dan religius tidak memiliki alternatif untuk
mengembangkan pemikirannya kecuali yang ditanamkan oleh orangtuanya. Hal
tersebut membuat Dian menjadi shock ketika
mengalami peristiwa yang tidak pernah diduga olehnya dan mengalami efek
traumatis yang dahsyat dalam bentuk kemarahan terhadap pelaku dan dirinya
sendiri. Konflik inilah yang menyebabkan Dian menjadi jauh lebih promiscous dibandingkan Tia. Dian kurang
memiliki pengetahuan mengenai strategi coping
yang efektif sehingga ia berusaha meredam kemarahannya dengan cara yang
ekstrim.
Sementara itu, Tia yang diasuh secara demokratis
memiliki cara pandang yang fleksibel dan terbuka. Ia mampu mengutarakan
pemikirannya kepada orang lain karena orangtuanya mengajarkannya demikian,
sehingga ia juga mampu menerima masukan dari orang lain dengan baik. Penerimaan
Tia juga tampak lebih baik dibandingkan Dian karena ia mengetahui bahwa masih
ada kesempatan baginya untuk memperbaiki diri dan memperoleh dukungan dari
orang-orang yang dicintainya.
Diskusi pada pengujian penelitian ini menemukan bahwa
terdapat hubungan yang kompleks dari area-area intervensi yang disimpulkan,
yaitu simtom-simtom PTSD, konsep diri negatif, relasi interpersonal, serta
traumatisasi seksual. Peneliti menarik kesimpulan baru bahwa keempat area
tersebut selalu saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga ketika kita
membicarakan salah satu area maka secara tidak langsung akan beririsan dengan
area yang lain. Hal tersebutlah yang terjadi pada rancangan intervensi ini, di
mana ternyata intervensi terhadap dua area juga dapat memberikan efek positif
pada dua area lainnya. Dengan demikian, sebenarnya intervensi bisa saja tetap
dilakukan terhadap seluruh area.
Berkaitan dengan area relasi interpersonal, juga
ditemukan bahwa terdapat isu yang lebih bisa menjadi titik tekan, yaitu intimacy dan komitmen heteroseksual. Hal
ini mengingat bahwa kedua partisipan sebenarnya mampu menjalin relasi
interpersonal, namun kualitas keintimannya masih perlu diperhatikan dan salah
satu indikatornya adalah komitmen. Dalam
intervensi juga perlu ditekankan tentang hubungan pacaran yang membuat
individu merasa nyaman. Dari kedua partisipan tampak bahwa pasangan mereka saat
ini merupakan orang yang sangat pengertian, tidak terburu-buru dalam pendekatan
dengan berusaha menjadi teman bicara yang baik, dan bersedia menerima mereka
apa adanya. Hal tersebut ternyata sangat membantu Dian dan Tia untuk membangun
kepercayaannya kepada laki-laki.
Poin diskusi berikutnya adalah mengenai faktor-faktor
yang perlu diperhatikan dalam intervensi kekerasan seksual, di antaranya
rapport yang baik antara pemeriksa dengan klien, atmosfir ruangan yang kondusif
untuk melangsungkan intervensi, tingkat pendidikan partisipan yang memadai
untuk diberikan intervensi behavioral kognitif, serta keterlibatan significant
others sebagai bentuk dukungan sosial . Hal ini sebaiknya menjadi perhatian
terapis agar intervensi berjalan lancar. Menurut Trowell (1999 dalam Wickham
& West, 2002), terapis untuk isu kekerasan seksual harus memberi perhatian
lebih pada isu kekerasan, isu masa kanak-kanak, perpisahan/kehilangan yang
terjadi dalam waktu dekat, psikopatologi, rencana masa depan dan kepercayaan
diri, serta hubungan keluarga dan dukungan sosial.
KESIMPULAN
Partisipan dalam penelitian ini
mengalami kekerasan seksual disertai kekerasan fisik dan emosional yang cukup
intens. Meskipun kekerasan seksual telah terjadi beberapa tahun yang lalu dan
saat ini Dian dan Tia sudah mencoba menjalin hubungan intim yang baru, mereka
masih mengalami keluhan psikologis terkait dengan peristiwa kekerasan, di antaranya mengalami mimpi buruk dan
bayangan akan peristiwa, reaksi fisiologis yang tidak mengenakkan jika teringat
pada peristiwa, adanya pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal yang
mengingatkan pada peristiwa, perasaan malu, berdosa, rendah diri, takut untuk
menjalani hubungan pacaran selanjutnya, belum mampu melupakan peristiwa, serta
munculnya perilaku dan pandangan yang berbeda mengenai diri sendiri dan seks. Perilaku seks yang menonjol pada partisipan adalah
berkurangnya minat terhadap seks dan adanya kekacauan seksual.
Kedua partisipan mengalami trauma yang cukup dalam akibat
kekerasan seksual sehingga dalam kesehariannya menghadapi kesulitan dalam empat
area, yaitu simtom-simtom PTSD yang masih dirasakan hingga saat ini, konsep
diri yang cenderung negatif sebagai perempuan, ketakutan dan kecemasan akan
relasi interpersonal yang akan datang, serta traumatisasi seksual dalam bentuk
inaktivasi seks atau kekacauan seks.
Rancangan intervensi yang disusun
menyasar pada dua area dari empat area yang diajukan berdasarkan hasil analisis
kasus, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual. Hal ini ditentukan
berdasarkan pertimbangan urgensi dan spesifikasi area sasaran intervensi. Untuk
simtom-simtom PTSD, pendekatan terapi yang digunakan adalah teknik-teknik
behavioral, sedangkan untuk traumatisasi seksual menggunakan teknik-teknik kognitif.
SARAN
Saran yang diajukan peneliti
terhadap penelitian ini di antaranya:
1. Teori mengenai trauma akibat kekerasan seksual, khususnya date rape, diperdalam agar menjadi lebih
spesifik dalam mengarahkan simtom-simtom mana yang akan menjadi sasaran intervensi,
2. Menggunakan literatur terbaru dan memperbanyak landasan
teoritis mengenai seksualitas di masyarakat Indonesia agar bisa dijadikan
perbandingan dengan kasus yang diteliti,
3. Menambah kedalaman wawancara dan data sehingga diperoleh
dinamika penghayatan yang lebih konprehensif.
4. Menambahkan metode observasi murni sebagai metode
pengambilan data mengingat simtom-simtom yang ditelliti umumnya dapat tampak
dalam kehidupan sehari-hari partisipan.
KEPUSTAKAAN
Allen,
Jon G. (2005). Coping With Trauma: Hope
Through Understanding. 2nd edition. Washington DC :
American Psychiatric Publishing, Inc.
Flynn,
C. P. (1990). “Relationship Violence by Women: Issues and Implications”. Family
Relations, 39, hal. 194-198.
http://www.jstor.org/stable/585723
Accessed: 20/05/2010 07:35
Kendall-Tackett,
Kathleen A. (2005). Handbook of Women,
Stress, and Trauma: Psychosocial Stress Series. New York : Brunner-Routledge.
Komisi Nasional Perempuan. (2002). Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia . Jakarta : Komnas
Perempuan.
Koss,
Mary P. & Harvey, Mary R. (1991). The
Rape Victim: Clinical and Community Interventions. 2nd edition. Newbury Park : Sage Publications, Inc.
Poerwandari, E. Kristi. (2005). Pendekatan
Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Edisi Ketiga. Jakarta: LPSP3 UI.
Poerwandari,
E. Kristi. (2008). Penguatan Psikologis
untuk Menanggulangi KDRT dan Kekerasan Seksual: Panduan dalam Bentuk Tanya
Jawab. Jakarta : Program Studi Kajian Wanita
Program Pascasarjana Universitas Indonesia .
Purnawan, I. (2004). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Seksual Pada Anak Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogjakarta. Yogyakarta:
Fakultas Kedokteran UGM.
Resick,
Patricia A. & Schnicke, Monica K. (1993). Cognitive Processing Therapy for Rape Victims: A Treatment Manual. Newbury Park : Sage Publications, Inc.
Rollins, Joan H. (1996). Women’s
Minds Women’s Bodies: The Psychology of Women in a Biosocial Context. New Jersey :
Prentice-Hall, Inc.
Smith,
P., Dygerov, A. & Yule, William. (2008). “Children and Disaster: Teaching
Recovery Techniques”. Bergen :
Children and War Foundation.
Wickham
& West. (2002). Therapeutic Work for
Child Sexual Abuse. Thousand Oaks :
Sage Publications, Inc.
Zulfah. 2007. “Pengaruh Sebaya
hingga Kekerasan” Kompas, 20 Juli 2002. Diunduh pada 10 Juni 2010. (http://www.bkkbn.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar