Senin, 05 Oktober 2015

ASPEK-ASPEK FISIK / MEDIS SERTA PERAN PUSAT KRISIS DAN TRAUMA DALAM PENANGANAN KORBAN TINDAK KEKERASAN




ASPEK-ASPEK FISIK / MEDIS SERTA PERAN PUSAT KRISIS DAN TRAUMA DALAM PENANGANAN KORBAN TINDAK KEKERASAN

Syaiful Saanin. IRD RS Dr. M. Djamil, Padang.


Kekerasan terhadap perempuan (KTP) :

Segala bentuk kekerasan berbasis jender yang berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap perempuan ; termasuk ancaman dari tindakan tsb, pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi PBB tentang anti kekerasan terhadap perempuan pasal 1, 1983).


Child abuse (Penganiayaan anak) (KTA) :

Perlakuan dari orang dewasa atau anak yang usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya berada dibawah tanggung-jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, bahkan cacad. Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun emosional.


Kekerasan dalam rumah-tangga (KDRT) :

Kekerasan fisik maupun psikis yang terjadi dalam rumah-tangga, baik antara suami-istri maupun orang-tua-anak. Pada umumnya korban adalah istri atau anak. Sedangkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak biasa ayah atau ibu.

Perkosaan :

Hubungan suksual yang dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan korbannya, dan merupakan tindak kekerasan sebagai ekspresi rasa marah, keinginan / dorongan untuk menguasai orang lain dan untuk atau bukan untuk pemuasan seksual. Seks hanya merupakan suatu senjata baginya untuk menjatuhkan martabat suatu kaum / keluarga, dapat dijadikan alat untuk teror dsb. Perkosaan tidak semata-mata sebuah serangan seksual, tetapi juga merupakan sebuah tindakan yang direncanakan dan bertujuan.

Ruang lingkup dan sasaran pelayanan :

IGD :

1. Penatalaksanaan korban / pasien KTP, penatalaksanaan terhadap perlakuan salah /penderaan terhadap anak dan KDRT melalui pelayanan medik.
2. Melaksanakan kegiatan mediko legal.
3. Melakukan pengobatan dengan pendekatan psikososial.

Non IGD :

1. Melakukan proses penyelidikan bila diperlukan.
2. Melakukan pendampingan dalam masa pemulihan.
3. Melakukan bantuan hukum.
4. Mencarikan rumah aman bila diperlukan.

Perilaku perempuan korban KTP pada fase akut :

1. Rasa takut atas berbagai hal.
2. Reaksi emosional lainnya : Shok, rasa tidak percaya, marah, malu, menyalahkan dirinya, kacau, bingung, histeris dll.

Kecurigaan telah terjadi KDRT :

1. Cedera bilateral atau berganda.
2. Beberapa cedera dengan beberapa penyembuhan.
3. Tanda kekerasan seksual.
4. Keterangan yang tidak sesuai dengan cederanya.
5. Keterlambatan berobat.
6. Berulangnya kehadiran di RS akibat trauma.

Perilaku anak korban KTA pada fase akut :

1. Gejala fisik penganiayaan emosional sering tidak jelas.
2. Ekspresi wajah, gerak-gerik, bahasa badan, dapat mengungkapkan perasaan sedih, keraguan diri, kebingungan, kecemasan, ketakuatan, atau amarah yang terpendam.

Penilaian atas anak korban KTA :

IGD :

1. Wawancara riwayat cedera / luka.
2. Pemeriksaan fisik.
3. Pemeriksaan radiologis.
4. Pemeriksaan hematologis.
5. Membuat laporan medis resmi.

Non IGD :

1. Pengambilan foto berwarna.
2. Pemeriksaan fisik saudara kandung.
3. Skrining perilaku.
4. Skrining tumbuh kembang anak balita.

Bentuk dan jenis kekerasan :

Fisik dan psikis, ringan hingga berat.

Bentuk kekerasan :

1. seksual.
2. Fisik.
3. Psikis.
4. Gabungan dari 2 atau 3 diatas.
5. Penelantaran (pendidikan, gizi, emosi).

Tempat kekerasan :

1. Rumah tangga.
2. Tempat kerja atau sekolah.
3. Daerah konflik atau pengungsian.
4. Jalanan.

Berdasar umur :

1. Sebelum lahir : abortus, pemukulan perut.
2. Bayi : pembunuhan dan penelantaran, penyalahgunaan fisik, seks dan psikis.
3. Pra remaja : Perkawinan usia anak, inses, fisik, seks, psikis, pelacuran, pornografi..
4. Remaja dewasa : kekerasan, pemaksaan seks, inses, pembunuhan oleh pasangan, pelacuran, pelecehan seks.
5. Usia lanjut : fisik, seks, psikis.

Sumber

 

RANCANGAN INTERVENSI PEMULIHAN TRAUMA BAGI PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN SEKSUAL DALAM HUBUNGAN PACARAN




RANCANGAN INTERVENSI PEMULIHAN TRAUMA BAGI PEREMPUAN YANG PERNAH MENGALAMI KEKERASAN SEKSUAL
DALAM HUBUNGAN PACARAN
Angesty Putri A.
E. Kristi Poerwandari
Nathanael Sumampouw

Penelitian ini disusun dengan tujuan memahami dinamika dampak psikologis, khususnya trauma, pada perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran untuk kemudian dibuatkan rancangan intervensi yang dapat diaplikasikan pada klien dengan kasus serupa. Partisipan berjumlah dua perempuan berusia 24 dan 25 tahun.
Pendekatan penelitian adalah kualitatif tipe studi kasus intrinsik. Asesmen dilakukan dengan teknik wawancara mendalam sebanyak lima pertemuan dan observasi sebagai teknik pendukung, Analisis dilakukan secara interkasus.
Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa terdapat empat tema utama yang muncul dari partisipan sebagai dampak psikologis dari kekerasan seksual dalam hubungan pacaran, yaitu masih dirasakannya simtom-simtom PTSD, konsep diri negatif, permasalahan dalam relasi interpersonal berikutnya, dan traumatisasi seksual. Atas alasan urgensi, maka untuk rancangan intervensi dipilih dua dari empat area tersebut, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual.
Rancangan intervensi berbentuk modul dan menggunakan pendekatan behavioral kognitif untuk pemulihan trauma. Teknik-teknik behavioral diberikan untuk area simtom-simtom PTSD, sedangkan teknik-teknik kognitif diberikan untuk area traumatisasi seksual.
Kata kunci :
Kekerasan seksual, dampak psikologis, simtom-simtom PTSD, konsep diri, relasi interpersonal, traumatisasi seksual, pendekatan behavioral kognitif

PENDAHULUAN
Di Indonesia, kasus kekerasan terhadap perempuan semakin marak terjadi. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam beberapa bentuk, di antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikologis, deprivasi ekonomi, diskriminasi, serangan seksual, kekerasan seksual, intimidasi berbasis gender, dan perdagangan perempuan (Komnas Perempuan, 2002; Poerwandari, 2008). Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam beberapa dekade terakhir mulai menjadi perhatian peneliti (Rollins, 1996). Hal ini karena kekerasan seksual dirasakan memiliki dampak psikologis yang besar terhadap korban (Copeland & Harris, 2000).
Kekerasan seksual adalah perilaku seksual yang dipaksakan kepada korban yang secara emosional, kematangan, dan kognitif lebih rendah dibandingkan pelaku, sehingga hubungan yang terjadi dilandasi oleh posisi dominan dan kekuasaan dari pelaku (Wickham & West, 2002). Kekerasan seksual memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang terhadap fungsi psikologis korban. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak psikologis pasti dialami korban. Beberapa di antara hasil penelitian menyatakan bahwa dua per tiga dari korban kekerasan seksual akan mengalami simtom-simtom psikologis, dan seperempat di antaranya mengalami kesulitan yang lebih parah (Berliner & Elliott, 1996; Kendall-Tacket et al, 1993; Wolfe & Birt, 1995 dalam Wickham & West, 2002).
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa kekerasan seksual lebih banyak terjadi oleh pelaku yang tidak dikenal atau orang asing. Padahal, hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang dikenal korban, bahkan memiliki relasi personal (Komnas Perempuan, 2002). Salah satu relasi personal yang bisa memunculkan kekerasan seksual adalah hubungan pacaran (Llyod, 1991 dalam Rollins, 1996). Banyak orang peduli tentang kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, namun masih sedikit yang peduli pada kekerasan dalam pacaran (Zulfah, 2007). Pada hubungan pacaran, umumnya kekerasan seksual diwarnai oleh kekerasan fsik dan psikologis (Komnas Perempuan, 2002). Hal tersebut karena untuk bisa melakukan hubungan seksual, pelaku juga menggunakan ancaman baik secara fisik maupun emosional.
Terdapat perbedaan konteks antara Indonesia dengan di luar negeri. Pada budaya Timur yang masih menganggap seks sebagai hal yang tabu untuk diperbincangkan, kasus kekerasan cenderung menjadi isu yang lebih sensitif dan privat (Poerwandari, 2008). Terlebih lagi jika pelakunya dekat dengan korban dan memiliki reputasi yang baik di lingkungannya, maka korban umumnya akan memilih untuk tidak mengekspos kekerasan yang dialaminya (Komnas Perempuan, 2002). Oleh karena itu, banyak hasil penelitian yang mendukung bahwa perempuan rentan terhadap tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang dekat (Koss dan Harvey, 1991).
Reaksi psikologis yang muncul segera setelah individu mengalami kekerasan seksual di antaranya adalah shock, tidak percaya, menyangkal, merasa ketakutan, bingung, cemas, dan menarik diri (Balise dalam Kendall-Tackett, 2005). Dampak psikologis lainnya adalah perempuan korban kekerasan seringkali merasakan harga dirinya rendah atau menurun, merasa bersalah, malu, mengalami gangguan tidur, simtom-simtom gangguan stres pasca trauma, dan permasalahan seksual (Resick, 1987 dalam Kendall-Tackett, 2005). Kekerasan seksual sangat berdampak terhadap bagaimana korban memandang dunianya (Koss & Harvey, 1991).  Umumnya, korban akan mengalami perubahan beliefs mengenai keamanan, power, kepercayaan, dan intimacy (Kendall-Tackett, 2005; Allen, 2005). Perilaku beresiko juga umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping terhadap efek viktimisasi yang tidak tertahankan (Ballon, Courbasson, & Smith, 2001 dalam Kendall-Tackett, 2005).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa trauma merupakan salah satu dampak psikologis yang cukup serius dialami korban, tidak hanya dalam jangka waktu pendek tetapi juga bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan tidak bisa diprediksi. Penanganan trauma pada korban kekerasan seksual bisa dilakukan dengan beberapa cara. Sebagian perempuan yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual mengembangkan strategi coping yang bisa mengurangi atau meredam perasaan-perasaan negatif (Rollins, 1996). Pendekatan behavioral juga efektif diapllikasikan pada klien dengan simtom-simtom traumatis (Rollins, 1996). Secara lebih spesifik, pendekatan yang digunakan untuk menangani klien dengan trauma akibat kekerasan seksual adalah cognitive processing therapy (Resick & Schnicke, 1993).
Permasalahan umum dalam penelitian ini adalah, Bagaimana pendekatan behavioral kognitif dapat diaplikasikan pada rancangan intervensi untuk perempuan yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual dalam hubungan pacaran?
Untuk dapat menjawab pertanyaan utama, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan implikasi dari kekerasan seksual yang dialami partisipan, yaitu:
1.      Seperti apa konteks lingkungan di mana partisipan dibesarkan?
2.      Perasaan apa yang muncul saat partisipan mengalami kekerasan seksual?
3.      Dampak psikologis apa saja yang dialami partisipan?
4.      Bagaimana trauma yang dirasakan partisipan?
5.      Bagaimana pandangan partisipan mengenai seks?
6.      Bagaimana pandangan partisipan mengenai dirinya sendiri, khususnya dalam seksualitas?

TINJAUAN TEORITIS
Seksualitas Perempuan
Purnawan (2004) menjelaskan bahwa dimensi yang membentuk seksualitas adalah dimensi sosiokultural, dimensi agama dan etis, dimensi biologis, dan dimensi psikologis. Sistem nilai seksual merupakan keyakinan pribadi dan keinginan yang berkaitan dengan seksualitas (Purnawan, 2004). Pengalaman yang berkaitan dengan seks dapat membuat individu lebih mudah untuk berhadapan dengan masalah seksual dalam lingkungan atau sebaliknya dapat pula menghambat individu dalam mengekspresikannya. Perempuan membentuk sistem nilai seksual berdasarkan norma-norma yang ditanamkan kepadanya dari lingkungan.
Daniluk (1993 dalam Rollins, 1996) menunjukkan hasil penelitiannya yaitu bahwa para perempuan yang pengalaman seksnya positif memaknai seks dalam tiga kategori, yaitu sebagai ekspresi seksual dalam relasi personal, perwujudan dari mutualisme, dan kesenangan emosional bersama pasangan. Sementara itu, kekerasan seksual (termasuk di dalamnya inses, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan verbal dan fisik) yang pernah dialami perempuan menyebabkannya mengembangkan pemaknaan yang negatif terhadap seks.

Kekerasan Seksual dalam Hubungan Pacaran
Kekerasan seksual bisa muncul dalam bentuk rabaan, ciuman, sentuhan yang tidak dikehendaki, pelecehan seksual, pemaksaan untuk melakukan hubungan seks dengan berbagai alasan tanpa persetujuan, atau mengancam dan menganiaya pasangan agar mau melakukan hubungan seks (Komnas Perempuan, 2002). Hubungan seksual yang dilakukan dengan kekerasan di masa pacaran membawa dampak psikologis. Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan yang sering berdampak sangat traumatik, dan mengubah keseluruhan hidup individu. Sebagian pihak menggolongkan semua bentuk ketidakadilan seksual dan manipulasi seksual dalam istilah ‘kekerasan seksual’. Kekerasan seksual merupakan penyalahgunaan kekuasaan, menyerang yang lemah dan tidak berdaya untuk melakukan perlawanan baik secara fisik maupun emosional (Wickham & West, 2002).

Dampak Psikologis Kekerasan Seksual
Reaksi psikologis yang muncul segera setelah individu mengalami kekerasan seksual di antaranya adalah shock, tidak percaya, menyangkal, merasa ketakutan, bingung, cemas, dan menarik diri (Balise dalam Kendall-Tackett, 2005). Mengikuti reaksi inisial, perempuan seringkali merasakan harga dirinya rendah atau menurun, merasa bersalah, malu, mengalami gangguan tidur, simtom-simtom gangguan stres pasca trauma, dan permasalahan seksual (Chibnall, Wolf, & Duckro, 1998; Kendal-Tackett, 2005). Kekerasan seksual dangat berdampak terhadap bagaimana korban memandang dunianya. Umumnya, korban mengalami perubahan beliefs mengenai keamanan, power, kepercayaan, dan intimacy (Kendall-Tackett, 2005).
Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma kerap memunculkan perilaku beresiko pasca kekerasan seksual sebagai efek emosional atau rentannya psikis korban (Dallam dalam Kendall-Tackett, 2005). Hasil penelitian Lipschitz, Grilo, Fehon, McGlashan, dan Southwick (2000, dalam Kendall-Tackett, 2005) menunjukkan bahwa gangguan stres pasca trauma berkorelasi signifikan dengan penggunaan obat dan alkohol. Perilaku beresiko umumnya dilakukan individu sebagai bentuk coping terhadap efek viktimisasi yang tidak tertahankan (Ballon, Courbasson, & Smith, 2001 dalam Kendall-Tackett, 2005; Flynn, 1990).
Browne dan Finkelhor (1986 dalam Wickham dan West, 2002) mengidentifikasi masalah-masalah jangka panjang yang munculnya disebabkan oleh kekerasan seksual, yaitu traumatic sexualization, stigmatisasi, sulit mempercayai orang lain, dan ketidakberdayaan. Pengalaman kekerasan juga bisa saja diinternalisasi oleh korban sebagai model dalam menjalani hubungan. Individu yang merasa disakiti akan melihat seks sebagai sesuatu yang menyakitkan sehingga minatnya berkurang terhadap seks, atau sebaliknya mengalami kebingungan akan makna seks (Browne & Finkelhor, 1996 dalam Wickham & West, 2002). Individu mungkin juga kelak akan menjadi penyerang ketika melihat adanya peluang untuk menunjukkan power kepada orang yang lebih lemah (Edgeworth & Carr, 2000: 19-20 dalam Wickham & West, 2002).

Trauma
Wanita yang mengalami kekerasan seksual rentan terhadap gangguan stres pasca trauma dan psikopatologi (Rollins, 1996). Simtom-simtom stres pasca trauma meliputi mengalami kembali peristiwa, mimpi buruk, flashbacks, menghindari pengingat dan pemikiran tentang peristiwa, mengurangi interaksi dengan teman-teman, perasaan ingin menyendiri, emosi yang tertahan, gangguan tidur, sulit berkonsentrasi, waspada berlebihan, perasaan bersalah, dan sangat merasa ketakutan (Foa, Rothbaum, Riggs, & Murdock, 1991, dalam Rollins, 1996).
Simtom-simtom gangguan stres pasca trauma dapat dibedakan ke dalam tiga golongan (Smith, Dygerov, & Yule, 2008), yaitu:
1.      Intrusive memories à munculnya bayangan-bayangan yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan peristiwa traumatis, terkadang sangat jelas sehingga membuat individu ketakutan dan tidak berdaya.
2.      Arousal à reaksi fisiologis yang muncul bila teringat pada kejadian traumatis, membuat individu terjaga dan kesulitan untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
3.      Avoidance à perilaku atau pemikiran individu untuk menghindari hal-hal yang mengingatkan pada kejadian traumatis.

Penanganan Trauma Akibat Kekerasan Seksual
Sebagian perempuan yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual mengembangkan coping strategies yang diyakininya bisa mengurangi atau meredam perasaan-perasaan negatif (Rollins, 1996). Konseling dan pendampingan psikologis penting bagi para korban kekerasan seksual yang mengalami trauma, tetapi perlu juga psikoterapi. Psikoterapi bisa diberikan dengan pendekatan cognitive reappraisals yang tujuan utamanya adalah meredefinisikan pemerkosaan sebagai kejadian yang bukan salah mereka, dan membantu korban untuk berpikir positif (Rollins, 1996). Terapi, khususnya terapi behavioral kognitif (CBT) atau terapi proses kognitif yang dikembangkan untuk mengurangi simtom-simtom stres pascatrauma pada korban pemerkosaan juga bisa menjadi efektif dengan formula yang tepat bagi korban (Foa et al., 1991; Resick & Schnike, 1992 dalam Rollins, 1996).
Secara lebih spesifik, pendekatan yang digunakan untuk menangani klien dengan trauma akibat kekerasan seksual adalah cognitive processing therapy (CPT) (Resick & Schnicke, 1993). Pada dasarnya, pendekatan kognitif behavioral juga dikembangkan berdasarkan CPT. Teknik utama yang digunakan dalam CPT adalah restrukturisasi pikiran, yang sasarannya adalah keyakinan atau pemikiran klien yang salah mengenai dirinya sendiri. Oleh karena itu, CPT efektif diaplikasikan pada klien yang memiliki kapasitas kognitif yang baik.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini melibatkan dua partisipan yang diberi nama samaran Dian (24 tahun) dan Tia (25 tahun). Dian dan Tia pernah mengalami kekerasan seksual dalam hubungan pacaran yang dijalaninya beberapa tahun yang lalu dan masih merasakan simtom-simtom traumatis berkaitan dengan peristiwa tersebut hingga saat ini. Dian mengalami kekerasan seksual disertai kekerasan fisik yang cukup intens, sedangkan Tia mengalami kekerasan seksual disertai kekerasan emosional berupa makian, cacian, dan umpatan dari pacarnya. Pengalaman tersebut membuat mereka kesulitan dalam menjalani hubungan interpersonal selanjutnya.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus intrinsik (Poerwandari, 2005). Prosedur penelitian meliputi tahap persiapan, pelaksanaan, analisis data, dan penyusunan rancangan intervensi. Teknik pengumpulan data adalah dengan wawancara mendalam yang dilakukan sebanyak lima kali untuk masing-masing partisipan. Analisis dilakukan secara interkasus dan hasilnya akan digunakan untuk menentukan sasaran intervensi.

HASIL PENELITIAN
Identitas Partisipan
DIAN
TIA
24 tahun, wiraswasta, S1
25 tahun, baru lulus S2
Agama Islam, suku Sunda
Agama Islam, suku Jawa
Anak pertama dari dua (P, P)
Anak pertama dari tiga (P, P, P)
Pelaku: pacar pertama
Pelaku: pacar ketiga
Peristiwa tahun 2003
Peristiwa tahun 2005
Lama hubungan 3 tahun
Lama hubungan 2,5 tahun
Kekerasan: seksual-fisik
Kekerasan: seksual-emosional
Saat ini bertunangan
Saat ini berpacaran

Gambaran Kasus Partisipan
Dian mengalami kekerasan seksual oleh pacarnya, Dani, ketika usianya 20 tahun. Dian berpacaran dengan Dani sejak SMA kelas 2 yaitu tahun 2002, tetapi setelah lulus SMA di tahun 2003 mereka melanjutkan pendidikan ke kota yang berbeda. Sejak itu, kondisi hubungan mereka dirasakan berubah oleh Dian, di mana Dani mulai memintanya untuk berhubungan seksual. Jika Dian tidak mau, maka Dani akan memaksa dengan cara memukul, menendang, bahkan menyeret Dian ke tempat tidur dan melakukan penetrasi dengan kasar. Setiap selesai melakukan hubungan seksual, Dani selalu bekata-kata manis dan meminta maaf, lalu kemudian Dian luluh dan kembali terjebak dalam hubungan seksual tersebut.
Tia mengalami kekerasan seksual ketika berpacaran dengan Toni. Tia menceritakan bahwa hubungannya dengan Toni awalnya baik-baik saja, dan jarang bertengkar. Menginjak tahun kedua berpacaran, Tia merasakan kejanggalan ketika Toni mulai berani menyentuh bagian-bagian pribadi dari tubuhnya. Tia menolak ketika Toni memintanya berhubungan seks. Toni tidak menyakitinya secara fisik, namun Toni memaki-maki Tia jika tidak mau memenuhi permintaannya. Toni meminta maaf berulang-ulang dan mengatakan menyesal. Lama kelamaan Tia risih karena Toni semakin sering memaksanya melakukan hubungan seksual. Tia akhirnya tidak kuasa menolak karena lelah dicaci maki oleh Toni yang sering mengucapkan kata-kata kotor dan binatang. Menurut Tia, ia selalu merasa terpaksa ketika akhirnya mau melakukan hubungan seksual dengan Toni.

Analisis Kasus
Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh beberapa poin perbandingan antara kasus Dian dengan Tia, yang diuraikan dalam tabel berikut.

Perbandingan Kasus Dian dengan Tia
Aspek-aspek
DIAN
TIA
Konteks Lingkungan dan Pembentukan Seksualitas
Pola asuh ketat dan religius
Orangtua tertutup dan menjadi sosok yang ditakuti
Dilarang berteman dengan laki-laki atau pacaran
Konsep keperawanan sangat penting
Perempuan harus menjaga diri baik-baik
Pola asuh demokratis
Orangtua terbuka dan memberikan akses komunikasi
Hubungan dengan lawan jenis diperbolehkan
Konsep keperawanan penting
Perempuan harus menjaga diri baik-baik
Reaksi Psikologis Pasca Kekerasan Seksual
Shock dan tidak menyangka akan mengalami kekerasan dari orang yang dicintai
Nyeri di kemaluan, gangguan tidur dan makan
Sedih, kecewa, marah
Perasaan jijik
Hilang mood dan energi rendah
Terbayang peristiwa dan tidak mampu mengendalikan ingatan yang muncul
Mimpi buruk
Menghindar dari pelaku
Shock dan tidak menyangka akan mengalami kekerasan dari orang yang dicintai
Nyeri di kemaluan
Marah, sedih, kecewa
Perasaan benci
Emosi meledak-ledak
Terbayang peristiwa dan tidak mampu mengendalikan ingatan yang muncul
Mimpi buruk
Menghindar dari pelaku
Dampak Psikologis Jangka Panjang
Sulit melupakan kejadian meskipun sudah berusaha
Harga diri rendah
Self blame
Merasa bodoh, hina, berdosa
Memandang buruk terhadap laki-laki dan bingung mengenai seks
Sulit melupakan kejadian meskipun sudah berusaha
Harga diri rendah
Self blame
Merasa berdosa
Memandang buruk terhadap sosok laki-laki tetapi membutuhkan afeksi
Reaksi Trauma
Kekacauan seksual
dalam bentuk berganti-ganti pasangan seks tanpa mau berkomitmen
Kekacauan seksual
dalam bentuk inaktivasi seks dan menjalani komitmen dengan sesantai mungkin
Pandangan mengenai Diri, Seks, dan Seksualitas
Memandang diri sendiri secara negatif
Seks menjadi bebas dilakukan asalkan suka sama suka dan tidak perlu dipikirkan dampaknya karena sudah tidak perawan
Memandang diri sendiri secara negatif
Seks tidak perlu dilakukan karena menyakitkan

Dinamika Trauma Akibat Kekerasan Seksual pada Partisipan
Peneliti menyimpulkan bahwa meskipun aspek-aspek yang terlibat dalam peristiwa traumatis masing-masing partisipan berbeda, dampak psikologis yang tampil dapat ditelaah melalui tinjauan teoritis yang sama. Dinamika trauma yang dialami partisipan digambarkan melalui tabel berikut. Tabel menggunakan garis putus-putus untuk menggambarkan adanya saling keterkaitan antara aspek satu dengan yang lain.

Dinamika Trauma
ASPEK-ASPEK YANG TERLIBAT DALAM PERISTIWA TRAUMATIS
(sebelum dan saat kejadian)
Perilaku Kekerasan

Figur Pelaku
Pandangan terhadap Diri
sebagai Perempuan
Menarik dengan kasar
Orang terdekat pada saat itu
Harus menjaga diri
Mendorong
Kekasih
Harus menjaga keperawanan
Memukul tubuh
Sahabat
Harus menahan hasrat seks
Menampar wajah
Kakak/orang yang lebih tua
Harus bersikap lembut
Menyeret
Dicintai
Lemah secara fisik
Mengumpat
Kuat
Disalahkan
Mengata-ngatai
Melindungi
Dicap buruk oleh masyarakat
Memarahi
Patut dihormati
Mudah merasa malu
Memaksakan penetrasi
Bertanggung jawab
Menanggung perbuatannya sendiri
Memaksakan orgasme
Diharapkan menjadi suami
Tidak boleh melawan laki-laki/suami
m     e     n    i     m     b     u     l     k     a     n
(setelah kejadian)
Memori buruk
Hilang kepercayaan
Sense of self yang buruk
Menangis
Hilang rasa aman
Self esteem yang rendah
Perasaan marah, benci, sedih
Ambivalensi dalam hubungan
Menyalahkan diri sendiri
Lemas, jantung berdebar, mual
Takut dimanfaatkan
Tidak memaafkan diri sendiri
Menghindar
Takut berkomitmen
Tidak bisa menerima kejadian
s     e     b     a     g     a     i
Simtom-simtom stres pasca trauma
Konflik dalam relasi interpersonal
Konsep diri yang negatif
DAMPAK SEGERA
DAMPAK JANGKA MENENGAH DAN PANJANG,
yang apabila perilaku bertahan akan menjadi
Traumatisasi seksual

Sasaran Intervensi
Berdasarkan hasil wawancara, ditemukan bahwa kedua partisipan mengalami trauma yang cukup dalam akibat kekerasan seksual sehingga dalam kesehariannya menghadapi kesulitan dalam empat area. Keempat area ini yang akan menjadi sasaran dalam intervensi, yaitu:
1.      Simtom-simtom PTSD
Simtom-simtom PTSD muncul dalam bentuk memori, bayangan, atau mimpi akan kejadian traumatis yang sering terbangkitkan, reaksi fisiologis dan emosional negatif yang muncul bila teringat pada kejadian traumatis, serta perilaku dan pikiran menghindar dari hal-hal yang mengingatkan pada kejadian traumatis.
2.      Konsep diri sebagai perempuan
Mencakup pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, kurangnya rasa keberhargaan diri, adanya anggapan bahwa dirinya tidak utuh dan tidak lagi sempurna sebagai seorang perempuan karena gagal mempertahankan keperawanan, adanya perilaku menyalahkan diri sendiri, serta sulitnya menerima kejadian tersebut dan memaafkan diri sendiri.
3.      Relasi interpersonal
Kedua partisipan menunjukkan ketakutan dan kecemasan akan hubungan intim yang selanjutnya karena memiliki pandangan yang negatif terhadap seks dan laki-laki. Area ini menjadi penting karena saat ini, mereka berada dalam hubungan intim yang baru setelah periode kekerasan seksual, sehingga timbul konflik antara kebutuhan intimacy dan ketakutan akan pengalaman masa lalu yang negatif.
4.      Traumatisasi seksual
Traumatisasi seksual muncul dalam bentuk perilaku seks atipikal dan tidak disadari oleh partisipan sebagai sesuatu hal yang tidak biasa. Perilaku seks atipikal dapat berupa minat yang rendah atau tinggi terhadap seks, di mana salah satu partisipan menunjukkan berkurangnya minat terhadap seks, sedangkan partisipan yang lain sebaliknya.

Para partisipan mengalami dampak psikologis yang cukup kompleks pasca peristiwa kekerasan seksual. Sebagai reaksi segera, keduanya merasa shock dan tidak menyangka bahwa orang yang dicintainya melakukan tindakan yang menyakiti dirinya. Dalam beberapa hari pasca kejadian, mereka merasa dihantui oleh pengalaman buruk dan merasa kesulitan mengenyahkan ingatan tersebut dengan cara apapun. Selain itu, secara fisiologis, mereka juga merasakan keluhan somatik dan debar jantung yang tidak menentu saat teringat kejadian. Hal ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan ketakutan sehingga cenderung menghindar dari pelaku dan segala hal yang mengingatkannya pada kejadian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kedua partisipan mengalami simtom-simtom PTSD yang belum tertangani hingga saat ini.
Reaksi psikologis segera ini kemudian diikuti dengan perasaan malu, rendah diri, dan menyalahkan diri sendiri yang akhirnya menyebabkan partisipan memandang buruk terhadap dirinya sendiri. Pandangan yang negatif ini kemudian menurunkan minat mereka terhadap relasi interpersonal sebagai konsekuensi yang sifatnya lebih luas dibandingkan personal. Kalaupun menjalani, mereka dibayangi ketakutan-ketakutan mengenai seks dan penerimaan pasangan. Kebingungan yang dialami akhirnya menjadikan para partisipan mengalami dampak yang diistilahkan dengan traumatisasi seksual, di mana mereka mengembangkan perilaku seks yang atipikal.

Rancangan Intervensi
Mengingat kasus kekerasan seksual termasuk ke dalam isu yang cenderung bersifat sensitif dan kebanyakan korban tidak ingin membicarakannya secara terbuka, maka peneliti memilih individual treatment sebagai model utama penanganan. Seperti yang dikemukakan Rollins (1996), pendekatan behavioral kognitif efektif digunakan dalam menangani simtom-simtom PTSD. Secara lebih spesifik, cognitive processing therapy efektif untuk merestrukturisasi pikiran para korban mengenai kejadian yang dialaminya (Resick & Schnicke, 1993). Pada dasarnya, teknik ini dapat berhasil apabila didukung dengan kapasitas kognitif yang baik dari klien. Berdasarkan pertimbangan bahwa kedua partisipan dalam penelitian ini memiliki tingkat pendidikan dan kapasitas kognitif yang memadai, maka peneliti memilih untuk menyusun rancangan intervensi dengan pendekatan gabungan dari cognitive processing therapy (Resick & Schnike, 1993) dan pendekatan behavioral kognitif untuk mengatasi reaksi stres pasca trauma (Smith, Dygerov, & Yule, 2008).

Desain Rancangan Intervensi
AREA INTERVENSI
ASPEK
SASARAN
INDIKATOR
PRE-INTERVENSI
TEKNIK
INDIKATOR
POST-INTERVENSI

Memori yang mengganggu
Bermimpi buruk setidaknya sekali dalam satu bulan
Terlintas bayangan kejadian setidaknya sekali dalam beberapa hari
Tidak mampu mengenyahkan mimpi dan bayangan meskipun sudah berusaha secara maksimal
Self-inventory:
CRIES-13
Psikoedukasi:
Mengapa memori yang mengganggu muncul
Teknik Safe Place
Teknik Imagery Screen
Berkurangnya memori yang mengganggu
Penerapan upaya yang efektif untuk mengenyahkan mimpi dan bayangan akan peristiwa traumatis


Reaksi fisiologis negatif
Gangguan tidur
Gangguan makan
Jantung berdebar-debar
Merasa lemas
Merasa mual

Psikoedukasi:
Mengapa reaksi fisiologis negatif muncul
Teknik Relaksasi Progresif
Teknik Bernafas
Berkurangnya reaksi fisiologis negatif
Penerapan upaya yang efektif untuk meredakan reaksi fisiologis negatif


Reaksi emosional negatif
Menangis
Merasa marah
Merasa benci
Merasa sedih
Merasa jijik

Psikoedukasi:
Mengapa reaksi emosional negatif muncul
Konseling:
Pengenalan Emosi Diri
Teknik distancing sebagai emotion-focused coping style
Berkurangnya reaksi emosional yang berlebihan
Pengenalan pola emosi diri dan menerapkan upaya yang efektif untuk meredakan emosi negatif
                                


Pikiran dan perilaku menghindar
Tidak mau melewati tempat-tempat tertentu meskipun menimbulkan kerugian atau merepotkan
Tidak mau menemui orang-orang tertentu meskipun menimbulkan kerugian atau merepotkan

Psikoedukasi:
Mengapa pikiran dan perilaku menghindar muncul
Desensitisasi sistematis
Eksposur in vivo
Bersedia dan mampu melewati tempat yang ditakuti/menemui orang yang semula dihindari
Menghadapi rasa takut dalam tingkatan yang lebih tinggi dari sebelum intervensi
Mampu me-recall ingatan tentang peristiwa traumatis tanpa tenggelam dalam perasaan negatif


Anggapan bahwa dirinya bersalah
Perasaan rendah karena sudah tidak suci
Ketidakmampuan menjalani hubungan intim Perasaan kotor bahwa tidak ada lagi yang perlu dipertahankan dari dirinya
Kebingungan mengenai seks dan hubungan intim
Psikoedukasi:
Dampak kekerasan seksual, khususnya berkaitan dengan traumatisasi seksual
Counter Statements
Restrukturisasi Pikiran
Pemahaman mengenai kondisi diri meningkat
Berkurangnya perasaan bersalah

Perilaku seks atipikal
Pemahaman yang tidak tepat mengenai hubungan seks
Anggapan bahwa perilaku seks atipikal merupakan hal yang wajar terjadi
Perubahan derajat minat terhadap seks (menjadi rendah atau menjadi berlebihan)


Teknik Konfrontasi
Restrukturisasi Pikiran
Teknik distancing sebagai salah satu emotion-focused coping style (contoh)
Psikoedukasi:
Seksualitas, proses biologis dan reproduksi, dampak seks bebas dan HIV-AIDS
Berkurangnya perilaku seks atipikal
Pemahaman mengenai seksualitas meningkat

Penerimaan diri
Pemahaman yang tidak tepat mengenai hubungan pacaran
Ketidakmampuan menerima masa lalu
Tidak memaafkan diri sendiri

Psikoedukasi:
Pacaran Sehat
Self-disclosure:
Bukti keberhasilan dan prestasi
Konseling:
Identifikasi stuck points
Makna hidup
Penerimaan terhadap diri meningkat
Kemampuan untuk memaafkan diri

Berdasarkan desain di atas, maka area pertama yang menjadi sasaran intervensi adalah simtom-simtom PTSD, yang akan dipecah menjadi empat aspek, yaitu memori yang mengganggu, reaksi fisiologis negatif, reaksi emosional negatif, serta pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatis. Sedangkan area kedua sasaran intervensi adalah traumatisasi seksual, yang terdiri dari aspek-aspek self blame, perilaku seks atipikal, dan penerimaan diri. Peneliti menetapkan bahwa intervensi dapat dilakukan oleh psikolog atau terapis yang memahami isu kekerasan seksual, dan berlangsung sebanyak sembilan sesi, yang terdiri dari delapan sesi individual dan satu sesi dengan significant others apabila memungkinkan dan klien bersedia untuk mendatangkan salah satu orang terdekatnya yang ia percayai. Peneliti menyarankan bahwa sesi untuk significant others dilaksanakan di awal atau setidaknya di tengah-tengah seluruh sesi individual, dengan pertimbangan agar significant others dapat turut memantau kemajuan sesi dan memberikan dukungan kepada klien selama mengikuti sesi. Berdasarkan literatur, peneliti juga menetapkan bahwa sesi intervensi ini akan dilakukan setiap satu minggu sekali. Dengan demikian, para praktisi dapat memberikan intervensi ini kepada klien dalam waktu dua bulan secara keseluruhan. Sementara itu, berdasarkan pertimbangan tercapainya target sesi, maka sesi akan dilaksanakan dalam waktu kurang lebih dua jam untuk satu pertemuan. Setiap sesi diberi nama sesuai dengan tema yang menjadi pembahasan utama dalam sesi yang bersangkutan.

Rangkuman Sesi
Sesi 1
Aku dan Peristiwa yang Menyebabkan Trauma
+ 120 menit
Sesi 2
Aku dan Reaksi-reaksi Negatif
+ 120 menit
Sesi 3
Aku dan Memori yang Mengganggu
+ 120 menit
Sesi 4
Aku dan Usaha untuk Menghindar
+ 120 menit
Sesi 5
Aku Tidak Bersalah…
+ 120 menit
Sesi 6
Aku dan Seksualitas
+ 120 menit
Sesi 7
Of course I love myself!
+ 120 menit
Sesi 8
Review dan Terminasi
+ 120 menit
Sesi Alternatif
Optimalisasi Pendampingan Psikologis
+ 120 menit
9 SESI
TOTAL
+ 18 jam

Sesi 1 mencakup perkenalan dan pembahasan mengenai reaksi stres pasca trauma dan pengalaman kekerasan seksual, sesi 2 membahas tentang reaksi-reaksi emosional dan fisiologis yang muncul jika teringat pada peristiwa serta teknik untuk meredamnya, sesi 3 membahas tentang memori atau bayangan yang masih mengganggu, dan sesi 4 membahas tentang avoidance. Keempat sesi pertama merupakan bagian dari area simtom-simtom PTSD, sehingga diberikan lebih awal dengan harapan apabila klien sudah mampu menerapkan upaya-upaya efektif untuk meredam reaksi stres pasca trauma-nya, maka ia menjadi lebih siap untuk mengikuti sesi traumatisasi seksual. Keempat sesi berikutnya bisa dikatakan lebih menenangkan untuk dijalani klien karena proses yang panjang di awal sesi ditujukan untuk kesejahteraan psikologis klien dan tidak secara langsung mengarahkan pembahasan pada isu yang mungkin masih terasa menakutkan bagi mereka. Atas alasan yang sama, maka secara lebih rinci, sesi mengenai reaksi fisiologis dan emosional negatif sengaja diberikan pertama kali dengan tujuan membekali klien dengan persiapan fisiologis dan emosional.

DISKUSI
Terdapat  perbedaan karakteristik kepribadian di antara Dian dan Tia yang menyebabkan mereka memiliki cara padang yang berbeda terhadap peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya. Dian yang dibesarkan dengan pola asuh ketat dan religius tidak memiliki alternatif untuk mengembangkan pemikirannya kecuali yang ditanamkan oleh orangtuanya. Hal tersebut membuat Dian menjadi shock ketika mengalami peristiwa yang tidak pernah diduga olehnya dan mengalami efek traumatis yang dahsyat dalam bentuk kemarahan terhadap pelaku dan dirinya sendiri. Konflik inilah yang menyebabkan Dian menjadi jauh lebih promiscous dibandingkan Tia. Dian kurang memiliki pengetahuan mengenai strategi coping yang efektif sehingga ia berusaha meredam kemarahannya dengan cara yang ekstrim.
Sementara itu, Tia yang diasuh secara demokratis memiliki cara pandang yang fleksibel dan terbuka. Ia mampu mengutarakan pemikirannya kepada orang lain karena orangtuanya mengajarkannya demikian, sehingga ia juga mampu menerima masukan dari orang lain dengan baik. Penerimaan Tia juga tampak lebih baik dibandingkan Dian karena ia mengetahui bahwa masih ada kesempatan baginya untuk memperbaiki diri dan memperoleh dukungan dari orang-orang yang dicintainya.
Diskusi pada pengujian penelitian ini menemukan bahwa terdapat hubungan yang kompleks dari area-area intervensi yang disimpulkan, yaitu simtom-simtom PTSD, konsep diri negatif, relasi interpersonal, serta traumatisasi seksual. Peneliti menarik kesimpulan baru bahwa keempat area tersebut selalu saling mempengaruhi satu sama lain, sehingga ketika kita membicarakan salah satu area maka secara tidak langsung akan beririsan dengan area yang lain. Hal tersebutlah yang terjadi pada rancangan intervensi ini, di mana ternyata intervensi terhadap dua area juga dapat memberikan efek positif pada dua area lainnya. Dengan demikian, sebenarnya intervensi bisa saja tetap dilakukan terhadap seluruh area.
Berkaitan dengan area relasi interpersonal, juga ditemukan bahwa terdapat isu yang lebih bisa menjadi titik tekan, yaitu intimacy dan komitmen heteroseksual. Hal ini mengingat bahwa kedua partisipan sebenarnya mampu menjalin relasi interpersonal, namun kualitas keintimannya masih perlu diperhatikan dan salah satu indikatornya adalah komitmen. Dalam  intervensi juga perlu ditekankan tentang hubungan pacaran yang membuat individu merasa nyaman. Dari kedua partisipan tampak bahwa pasangan mereka saat ini merupakan orang yang sangat pengertian, tidak terburu-buru dalam pendekatan dengan berusaha menjadi teman bicara yang baik, dan bersedia menerima mereka apa adanya. Hal tersebut ternyata sangat membantu Dian dan Tia untuk membangun kepercayaannya kepada laki-laki.
Poin diskusi berikutnya adalah mengenai faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam intervensi kekerasan seksual, di antaranya rapport yang baik antara pemeriksa dengan klien, atmosfir ruangan yang kondusif untuk melangsungkan intervensi, tingkat pendidikan partisipan yang memadai untuk diberikan intervensi behavioral kognitif, serta keterlibatan significant others sebagai bentuk dukungan sosial . Hal ini sebaiknya menjadi perhatian terapis agar intervensi berjalan lancar. Menurut Trowell (1999 dalam Wickham & West, 2002), terapis untuk isu kekerasan seksual harus memberi perhatian lebih pada isu kekerasan, isu masa kanak-kanak, perpisahan/kehilangan yang terjadi dalam waktu dekat, psikopatologi, rencana masa depan dan kepercayaan diri, serta hubungan keluarga dan dukungan sosial.

KESIMPULAN
Partisipan dalam penelitian ini mengalami kekerasan seksual disertai kekerasan fisik dan emosional yang cukup intens. Meskipun kekerasan seksual telah terjadi beberapa tahun yang lalu dan saat ini Dian dan Tia sudah mencoba menjalin hubungan intim yang baru, mereka masih mengalami keluhan psikologis terkait dengan peristiwa kekerasan, di antaranya mengalami mimpi buruk dan bayangan akan peristiwa, reaksi fisiologis yang tidak mengenakkan jika teringat pada peristiwa, adanya pikiran dan perilaku menghindar dari hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa, perasaan malu, berdosa, rendah diri, takut untuk menjalani hubungan pacaran selanjutnya, belum mampu melupakan peristiwa, serta munculnya perilaku dan pandangan yang berbeda mengenai diri sendiri dan seks. Perilaku seks yang menonjol pada partisipan adalah berkurangnya minat terhadap seks dan adanya kekacauan seksual.
 Kedua partisipan mengalami trauma yang cukup dalam akibat kekerasan seksual sehingga dalam kesehariannya menghadapi kesulitan dalam empat area, yaitu simtom-simtom PTSD yang masih dirasakan hingga saat ini, konsep diri yang cenderung negatif sebagai perempuan, ketakutan dan kecemasan akan relasi interpersonal yang akan datang, serta traumatisasi seksual dalam bentuk inaktivasi seks atau kekacauan seks.
Rancangan intervensi yang disusun menyasar pada dua area dari empat area yang diajukan berdasarkan hasil analisis kasus, yaitu simtom-simtom PTSD dan traumatisasi seksual. Hal ini ditentukan berdasarkan pertimbangan urgensi dan spesifikasi area sasaran intervensi. Untuk simtom-simtom PTSD, pendekatan terapi yang digunakan adalah teknik-teknik behavioral, sedangkan untuk traumatisasi seksual menggunakan teknik-teknik kognitif.

SARAN
Saran yang diajukan peneliti terhadap penelitian ini di antaranya:
1.      Teori mengenai trauma akibat kekerasan seksual, khususnya date rape, diperdalam agar menjadi lebih spesifik dalam mengarahkan simtom-simtom mana yang akan menjadi  sasaran intervensi,
2.      Menggunakan literatur terbaru dan memperbanyak landasan teoritis mengenai seksualitas di masyarakat Indonesia agar bisa dijadikan perbandingan dengan kasus yang diteliti,
3.      Menambah kedalaman wawancara dan data sehingga diperoleh dinamika penghayatan yang lebih konprehensif.
4.      Menambahkan metode observasi murni sebagai metode pengambilan data mengingat simtom-simtom yang ditelliti umumnya dapat tampak dalam kehidupan sehari-hari partisipan.

KEPUSTAKAAN
Allen, Jon G. (2005). Coping With Trauma: Hope Through Understanding. 2nd edition. Washington DC: American Psychiatric Publishing, Inc.
Flynn, C. P. (1990). “Relationship Violence by Women: Issues and Implications”. Family Relations, 39, hal. 194-198.
http://www.jstor.org/stable/585723 Accessed: 20/05/2010 07:35
Kendall-Tackett, Kathleen A. (2005). Handbook of Women, Stress, and Trauma: Psychosocial Stress Series. New York: Brunner-Routledge.
Komisi Nasional Perempuan. (2002). Peta Kekerasan: Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta: Komnas Perempuan.
Koss, Mary P. & Harvey, Mary R. (1991). The Rape Victim: Clinical and Community Interventions. 2nd edition. Newbury Park: Sage Publications, Inc.
Poerwandari, E. Kristi. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Edisi  Ketiga. Jakarta: LPSP3 UI.
Poerwandari, E. Kristi. (2008). Penguatan Psikologis untuk Menanggulangi KDRT dan Kekerasan Seksual: Panduan dalam Bentuk Tanya Jawab. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Purnawan, I. (2004). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Anak Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogjakarta. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM.
Resick, Patricia A. & Schnicke, Monica K. (1993). Cognitive Processing Therapy for Rape Victims: A Treatment Manual. Newbury Park: Sage Publications, Inc.
Rollins, Joan H. (1996). Women’s Minds Women’s Bodies: The Psychology of Women in a Biosocial Context. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Smith, P., Dygerov, A. & Yule, William. (2008). “Children and Disaster: Teaching Recovery Techniques”. Bergen: Children and War Foundation.
Wickham & West. (2002). Therapeutic Work for Child Sexual Abuse. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.

Zulfah. 2007. “Pengaruh Sebaya hingga Kekerasan” Kompas, 20 Juli 2002. Diunduh pada 10 Juni 2010. (http://www.bkkbn.go.id)